I.
PENDAHULUAN
Honigman (1959:
11—12) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas, (2)activities, dan
(3) artifact. Sebagai hasil karya manusia, kebudayaan memiliki
tiga wujud, yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia (Kontjaraningrat, 1986: 186—187).
Berdasarkan
uraian tersebut, segehan adalah wujud kebudayaan yang
merupakan hasil karya manusia dalam hubungannya dengan masalah keagamaan. Segehan sebagai
sebuah wujud ritual dalam keagamaan umat Hindu di Bali baru akan bermakna
kalau dideskripsikan dengan bahasa. Segehan adalah sebuah
wacana berbahasa Bali dan Kawi-Bali dalam hubungannnya dengan fungsi ritual.
Berbicara
masalah fungsi bahasa, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
(1) fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan (2) fungsi bahasa sebagai sarana
dalam ritual keagamaan. Malinowski (dalam Sibarani, 2004: 44) menyebut fungsi
bahasa itu sebagai (1)pragmatic use dan (2) magical use.
Sebagai sebuah wacana, segehan memiliki wujud ritual yang
beragam, struktur saa (doa), dan makna yang berbeda pula, yang
digunakan dalam hubungannya dengan ritual Butha Yadnya ‘kurban
untuk butha kala’.
Segehan sebagai
sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali berasal dari kata sěga ‘nasi’
, lalu mendapat sufiks –an. Sěga adalah kata dalam bahasa Jawa
Kuna yang berarti ‘nasi’. Segeh berarti ‘penyambutan’,
dan segehan berarti ‘menyuguhkan sesuatu (pada tamu terhormat)
(Zoetmulder dan S.O. Robson, 2004: 1064—1065). Dalam hal ini segehan dapat
diartikan sebagai sebuah suguhan kepada para bhuta kala yang
sangat dihormati, karena sesungguhnya bhuta kala itu adalah Tuhan sebagai
wujud-Nya yang berbeda dalam hubungannya dengan pemberian anugerah kepada
pemuja-Nya.
Segehan adalah
sebuah wujud ritual umat Hindu Bali kepada Tuhannya yang berupa nasi dalam
berbagai bentuk. Segehan adalah carudalam wujud
yang lebih kecil (Arwati, 1992: 3). Segehan adalah sajen yang
digunakan dalam upacara bhuta yadnya; alas taledan; isi
nasi, lauk-pauk, bawang, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Sejalan dengan
itu, dalamKamus Bali-Indonesia (1991: 622) dijelaskan bahwa segehan adalah
sajen kurban yang paling kecil dibuat dari nasi dengan lauk-pauk bawang, jahe,
dan garam.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Pengantar
Segehan, oleh sebagian
masyarakat Bali, misalnya di Kabupaten Badung juga dikenal dengan sebutan blabaran. Kata blabaran berasal
dari kata blabar ’banjir’, mendapat sufiks–an menjadi blabaran berarti
‘kebanjiran’. Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami
seseorang. Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena musibah banjir
atau kebanjiran, itu adalah pertanda buruk. Sehubungan dengan itu, orang yang
bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan atau
manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya yang mungkin akan menimpanya.
Persembahan untuk menangkal bahaya tersebut di Bali dikenal dengan segehan.
Segehan adalah ritual kurban atau caru dalam
tingkatan kecil atau sederhana. Tingkatan yang lebih besar lagi disebut
dengan tawur.
Segehan sebagai sebuah
wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki bentuk yang beraneka
ragam, sesuai dengan keperluan.Segehan adalah kurban atau ritual
persembahan yang bukan bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur. Secara
umum, fungsi segehan ada empat, yaitu 1) untuk sarana
persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar
hutang (Bhuta Rnam).
Wujud ritual
dalam hal ini adalah rupa atau bentuk ritual segehan.Wujud
ritual segehan itu bermacam-macam sesuai dengan tujuan
pembuatan dan permohonannya. Bagaimanapun wujudnya, bahan utamanya tidaklah
berbeda, yaitu nasi atau sěga. Yang berbeda-beda antara di
suatu daerah dan daerah lainnya adalah alas yang digunakan. Di beberapa daerah
menggunakan daun pisang sebagai alas, dan di daerah yang lainnya menggunakan
janur. Selain itu, ada juga masyarakat yang menggunakan daun pohon dadap atau
daun pohon yang lain sebagai alasnya.
Seperti telah
dijelaskan di depan, segehan adalah wujud ritual kurban yang
ditujukan kepada para bhuta kala beserta pengikut-Nya. Sebagai sebuah ritual
kurban, segehan adalah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk
sedemikian rupa yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, darah, dan
sebagainya. Sebagai minumannya adalah lima jenis cairan, yaitu 1) arak, 2)tuak, 3) b ěr ěm,
4) darah, dan 5) air.
Hal itu sejalan
dengan pendapat Dhavamony (2002: 214) yang mengatakan bahwa, upacara kurban
adalah persembahan ritual berupa makanan atau minuman atau binatang, sebagai
konsumsi bagi suatu mahluk supernatural.
Berbicara
masalah wujud ritual atau bentuk, dalam hal ini tidak bisa lepas dari fungsi
dan makna. Artinya, di dalam wujud ritual atau bentuk-bentuk segehan itu
terkemas fungsi dan makna. Dalam tulisan ini fungsi tidak dibahas secara
khusus, karena sudah sangat jelas. Makna dalam bab ini adalah makna
kontekstual, yaitu makna yang ada di balik wacana ritual segehan masing-masing.
Untuk lebih jelasnya, tentang wujud ritual dan makna wacana segehan yang
dimaksud akan diuraikan satu persatu berikut ini.
2.2 Segehan Saiban
Saiban adalah sajen
kecil setiap habis memasak (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1991:
596). Segehan Saiban adalah segehan yang
dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari. Wujud segehantersebut
berupa nasi dengan alas daun pisang atau daun pohon yang lainnya yang berukuran
kurang lebih 5 cm. Persembahan tersebut dibuat lengkap dengan lauknya. Lauknya
sesuai dengan apa yang dimasak. Artinya, tidak ada suatu keharusan untuk
menghaturkan lauk tertentu. Apa yang dimasak oleh masyarakat Hindu Bali, itulah
yang menjadi lauknya.
Segehan saiban bagi sebagian
masyarakat juga disebut sebagai banten jotan. Menurut Lontar
Dharmasastra seorang kepala keluarga mempunyai lima macam
penyembelihan, yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung/lumpang dengan
alunya, dan tempayan/tempat air. Segehan saibanhendaknya
dipersembahkan hanya kepada alat-alat tersebut (Swarsi, 2003: 84).
Dalam
kepercayaan masyarakat Hindu Bali, alat-alat seperti tersebut di atas memiliki
jasa yang amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apapun yang
dimakan oleh mereka harus dipersembahkan kepada alat-alat tersebut.
Segehan
saiban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali
tidak hanya dipersembahkan kepada peralatan tersebut di atas, tetapi juga
kepada dewa-dewa atau manifestasi Tuhan dan bhuta kala di
setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan seperti
tempat beras, pelangkiran, halaman rumah, sanggah/
merajan, lebuh atau jalan.
Segehan
saiban mengandung makna sebagai ungkapan terima kasih atau rasa
syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan, bhuta kala dan
sebagai ungkapan terima kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak
berjasa dalam kehidupan di dunia ini.
Menurut
Sudarsana (2001: 86—87), segehan saiban mengandung makna
sebagai sarana pengeruat/penyupatan terhadap mahluk-mahluk
selain manusia karena tergolong mahluk papa. Hanya manusialah
diharapkan melakukan penyupatan agar nanti kalau reinkarnasi
dapat menjadi manusia. Di samping itu, memiliki nilai tinggi terhadap
karma manusia karena disadari bahwa sěgala sesuatu yang dimakan adalah berkat
ciptaan-Nya. Oleh karena itu, sěgala sesuatu yang akan dimakan hendaknya
terlebih dahulu dipersembahkan kepada-Nya.
Pernyataan
tersebut terangkum dalam kitab suci Bhagawad Githa Bab
III sloka 13 sebagai berikut.
Yajña-sistasinah santo
mucyanté sarva-kilbisaih,
bhuñjaté té tv agham papa
yé pacanty atma-karanat.
Terjemahan:
‘Ia yang
memakan siasa yadnya akan terlepas dari dosa, (tetapi) ia yang memasak makanan
bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.’
Adapun yang
dimaksud dengan sisa yadnya adalah semua makanan yang
diperoleh setelah terlebih dahulu sebagain disajikan kepada yang patut
diberi sajian atau Pribadi Yang paling Utama. Orang yang menyantap makanan sisa
dari yang telah disajikan itu, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan. Orang
yang menanak nasi untuk diri sendiri tanpa ngejot, itulah yang
disebut bersalah. Orang yang menyiapkan makanan untuk kepuasan diri tidak hanya
menjadi pencuri, tetapi juga memakan sěgala jenis dosa (Pudja, 2005: 86—87),
(Sri Srimad, 2000: 178).
2.3 Segehan Putih Kuning
Segehan kěpěl
putih kuning adalah sajen segehan kěpěl yang berwarna
putih dan kuning, beralaskan taledan, dengan lauk bawang
merah, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Jadi,
yang dimaksud dengan segehan kěpěl putih kuning adalah
salah satu jenis segehan yang terbuat dari nasi yang dikepal
dan diberi warna putih dan kuning. Di bagian atas dilengkapi dengan porosan atau canang, dan
di bawahnya dilengkapi dengan lauk bawang merah, garam, dan jahe.
Berikut adalah wujud ritualnya.
Warna putih dan
kuning pada segehan itu mengandung makna kesucian dan
kebijaksanaan. Umumnya segehan tersebut dipersembahkankepada
para pengikut roh-roh leluhur.
Selain untuk
persembahan kepada roh leluhur, segehan putih kuning juga dipersembahkan
kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang belum diketahui secara pasti. Masyarakat
Hindu di Bali menganggap bahwasegehan tersebut bersifat netral atau
dapat dipersembahkan kapan saja dan dimana saja kepada roh-roh ataupun
manifestasi Tuhan yang dianggap suci.
Menurut
Sudarsana (2001: 81), segehan putih kuning mengandung makna
sebagai simbol kekuatan Bhuta Nareswari yang dapat
mempengaruhi jiwa manusia untuk berperilaku malas dan boros. Untuk menetralkan
pengaruh itu pada diri seseorang, perlu dibuatkan segehan putih kuning.
3.4 Segehan Sah-Sah
Kata sah-sah adalah
bentuk ulang dalam bahasa Bali yang berasal dari kata asah yang
berarti ‘rata’. Kata sah-sah itu sendiri berarti ‘dibuat
rata’. Segehan sah-sah adalah sebuah wujud ritual segehan yang
nasinya ditaruh begitu saja atau terurai; tanpa warna; beralaskan daun telujungan‘pucuk
daun pisang’; dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, uyah‘garam’,
bawang ‘bawang merah’, dan jahé ’jahe’. Adapun wujud
ritualnya adalah sebagai berikut.
Segehan
sah-sah adalah sebuah wujud ritual yang biasanya dipersembahkan
kepada para mahluk-mahluk halus seperti wong samar, deté, tonya, dan sebagainya.
Secara implisit dalam Ajaran Kandapatsaridijelaskan bahwa segehan
sah-sah digunakan sebagai persembahan kepada mahluk halus yang berada
di bawah kekuasaan Ratu Gedé Mecaling. Pada saat-saat
tertentu, segehan sah-sah juga digunakan sebagai lambang
persembahan kepada bhuta kala yang berfungsi sebagai penjaga
perbatasan yang disebut sebagai Sang Bhuta Pemali Wates.
3.5 Segehan Cah-cahan
Segehan
cah-cahan adalah sajen segehan yang
beralaskan taledan yang berisi beras, benang putih,
uang, base tampél, dan bijaratus (Kamiartha,
1992: 58).Segehan cah-cah atau cah-cahan dalam
tulisan ini adalah sebuah wujud ritualsegehan dengan nasi berwarna
putih, yang dibentuk kecil-kecil seperti di-cah-cah ‘direcah’ dan
ditaruh di atas tamas ‘alas daun kelapa yang dibentuk
menyerupai piring’. Kata cah-cahan adalah kosa
kata bahasa Bali yang berarti ‘recahan’. Wujud ritual segehan tersebut
bersama-sama dengan wujud ritual lainnya, umumnya dipersembahkan untuk
ritual bhuta yadnya‘persembahan kepada bhuta kala’ yang
sederhana seperti pada saat keliwon, purnama, dan tilem (Pemprov.
Bali, 2005: 115). Berikut adalah wujud ritualnya.
Segehan cah-cahan yang utuh
seharusnya terdiri atas atau berjumlah 133 buah. Namun, ada kalanya dibuat 108,
66, 33, atau 11 buah. Angka-angka tersebut mengandung makna sebagai berikut.
Angka 133 menggambarkan bahwa segehan itu ditujukan
kepada bhuta kala yang seluruhnya berjumlah 133. Dalam
ajaran kandapatsari dijelaskan bahwa ada 133 bhuta
kala yang dikenal dalam ajaran Hindu. Dikenal dalam hal ini mengandung
makna ‘diketahui nama, tugas, dan fungsinya’.
Menurut
lontar Sundari Siksa, ada 1800 bhuta kala di
alam ini. Berikut adalah kutipannya.
“pawilangan kala haneng bhuwana kwehnya siyu domas, yan
maring umah séket pat-pat, lwirnya maring purwa pañca tang kala, ring gnéyan
kutus tang kala, ring daksina siya, ring nériti tatiga, pascima pitu, ring
wayabya siki, ring uttara pat-pat, ring érsanya nem-nem, ring madya kutus, ring
lawanging pemesuan siki, ring kiwa tengening pemesuan sama satunggal,
pasamodhayanya séket pat-pat…”
Terjemahan:
‘Menurut perhitungan bhuta
kala di dunia ini berjumlah 1800, kalau di lingkungan rumah 54, yaitu
di Timur berjumlah lima, di Tenggaradelapan, di Selatan sembilan, di Barat
tujuh, di Barat Daya tiga, di Barat Laut satu, di Utara empat, di Timur Laut
enam, di Tengah delapan, di pintu masuk pekarangan satu, di kiri kanan pintu
masuk pekarangan rumah sama juga berjumlah satu, seluhnya adalah lima puluh
empat…’
Dalam
hubungannya dengan segehan cah-cahan adalah bhuta
kala itu berjumlah 133. Mengapa jumlah 133 itu justru menjadi 108, 66,
33, dan 11? Hal itu disebabkan sudah ada wujud segehan yang
lain sebagai penggantinya, misalnya segehan agung, pulangan,
wong-wongan, sah-sah, dan sebagainya. Makin kecil jumlah segehan cah-cahan itu
disebabkan oleh makin banyak ada segehan yang lain yang
dianggap telah melengkapi jumlah tersebut.
3.6 Segehan Agung
Segehan
agung adalah segehan yang beralaskan nyiru
yang berisi nasi, bawang merah, jahe, garam, dan uang (Kamiartha, 1992: 58).
Biasanya,segehan agung dilengkapi dengan kelapa dan telur itik
mentah. Segehantersebut dibuat di atas alas nyiru yang berisi
beras. Di tengahnya diberi tempat sebagai alas kelapa yang di sampingnya susun
sebuah kemiri, telor, pangi ‘keluek’, gagantusan,
peselan. Di luarnya diisi nasi 11 porsi yang disusun berdasarkan
mata angin (Sudarsana, 2001: 83). Segehan tersebut juga
dilengpaki canang gantal, dan canang rebong. Sesusai
dipersembahkan, beras serta perlengkapannya ditaburkan ke empat penjuru, yaitu
Timur, Selatan, Barat, dan Utara (Swarsi, 2003: 79). Lebih jelasnya, perhatikan
wujud ritual berikut.
Makna yang
terkandung dalam wujud ritual segehan agung adalah sebagai
berikut. Kata agung dalam hal ini bukan berarti
‘besar’, tetapi ‘menyeluruh’. Maksudnya, segehan agung bukanlah
berarti segehan besarseperti pemahaman masyarakat Hindu pada
umumnya, melainkan segehanyang ditujukan kepada seluruh bhuta
kala dan pengikut-Nya. Hal itu tercermin dari nasi 11 porsi yang
ditaruh berdasarkan mata angin dan beras serta perlengkapan yang ditaburkan ke
empat penjuru mata angin.Nasi yang ditaruh disetiap arah mata angin itu
mengandung makna bahwasegehan itu ditujukan kepada suluruh bhuta
kala yang ada di sěgala penjuru mata angin. Penaburan beras dan
perlengkapan yang lain mengandung makna sebagai pemberian kepada
seluruh bhuta kala yang menempati keempat penjuru yang mungkin
tidak dapat hadir saat ritual dilaksanakan.
3.7 Segehan Wong-Wongan
Segehan
wong-wongan adalah sebuah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk
menyerupai orang atau manusia. Kata ulang wong-wongan‘orang-orangan’
berasal dari kata wong ‘orang/manusia’. Segehan tersebut
dilengkapi dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, bawang
merah, jahe, dan garam. Adapun warna nasi yang digunakan adalah bermacam-macam,
ada yang berwarna putih, merah, dan brumbun, sesuai dengan
keperluanmasyarakat. Berikut adalah wujud ritualnya.
Secara
kontekstual, makna segehan wong-wongan adalah lambang
persembahan sebagai pengganti diri dan nyawa orang yang mempersembahkannya.
Wujud segehan berupa manusia adalah wujud ritual yang
dipersembahkan kepada bhuta kala dengan harapan memperoleh keselamatan.
Jeroan mentah memiliki makna sebagai jeroan/ isi perut manusia sebagai pelaku
persembahan. Sedangkan, bawang merah, garam, jahe adalah pelengkap persembahan
yang membuat suguhan kepada bhuta kala tersebut menjadi lebih
enak.
3.8 Segehan Tumpěngl
Segehan
tumpěngl atau segehan nasi tumpěngl adalah sebuah
wujud ritualsegehan yang berbentuk tumpěngl ‘krucut’. Segehan tersebut
dibuat di atas pucuk daun pisang dan dilengkapi dengan lauk jeroan mentah,
bawang merah, jahe, dan garam. Di ujung bagian atas daun diberi bunga atau
canang lengkap dengan porosan-nya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu
Bali sehari-hari segehan model itu sangat jarang ditemukan
karena termasuk wujud ritual khusus yang hanya dipersembahkan saat-saat
tertentu. Untuk lebih jelasnya tentang wujud ritual segehan yang
dimaksud, perhatikan gambar berikut.
Berdasarkan
wawancara yang penulis lakukan dengan informan ahli, segehan
tumpěngl itu dibuat dengan sarana utama nasi yang berbentuktumpěngl dengan
warna yang berbeda-beda, sesuai keperluan. Ada yang berwarna putih, kuning,
merah, hitam, dan mancawarna. Perbedaan warna nasi tersebut
disesuaikan dengan tujuan kepada siapa segehan itu
dipersembahkan. Misalnya, untuk Sang Bhuta Mancawarna sebagai
jelmaan Dewa Siwa di gunakan warna brumbun (campuran warna
merah, putih, hitam).
Makna yang
terkandung di balik segehan tumpěngl adalah sebagai lambang
persembahan kepada puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan dalam agama Hindu. Yang
dikenal sebagai puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan itu adalah Brahma, Wisnu,
Siwa, Ghana, Kala, Kumara, Saraswati, dan sebagainya. Maksudnya, Brahma adalah
puncak kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa
sebagai pelebur, Ghana sebagai penolak mara bahaya, Kala sebagai penguasa
waktu, Kumara sebagai penguasa sěgala kesenangan, dan Saraswati sebagai
penguasa ilmu pengetahuan.
3.9 Segehan Tulak
Segehan
tulak adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buahsegehan, yaitu segehan
sliwah, sěgahan kěpěl poleng, dan segehan tulak. Kata tulakadalah
kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘tolak’, ‘balik’. Segehan tulakadalah
sebuah wujud ritual yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali, yang bertujuan
untuk menolak mara bahaya yang bisa datang kapan saja.Segehan tersebut
dibuat di atas pucuk daun pisang yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe,
gara, dan jeroan mentah.
Segehan
sliwah adalah segehan wong-wongan yang separo
badan berwarna putih, separo lagi berwarna merah atau hitam yang di Bali
disebut berwarna sliwah. Segehan kěpěl poleng adalah segehan yang
dibuat dengan cara dikepal dan diberi warna hitam dan putih (poleng). Dansegehan
tulak adalah wujud segehan yang berupa dua buah nasi
wong-wongan‘menyerupai manusia’ terbalik atau beradu kepala. Ketiga segehan tersebut
masing-masing dipersembahkan kepada Sang Bhuta Sliwah, Sang Bhuta
Poleng, dan Sang Bhuta Mandi. Adapun bentuk atau
wujud ritual segehanyang dimaksud adalah sebagai berikut.
Adapun makna
yang terkandung di balik segehan-segehan yang dimaksud adalah
sebagai berikut. Segehan sliwah mengandung makna sebagai
persembahan kepada Sang Bhuta Sliwah. Warna sliwah itu
mengandung makna agar sěgala mara bahaya yang ada atau yang akan datang menjadi
netral. Segehan poleng adalah lambang persembahan kepada Sang
Bhuta Poleng sebagai bhuta kala penguasa berbagai
macam kesaktian. Dengan persembahan segehan poleng diharapkan
sěgala kekuatan yang menyertai mara bahaya itu akan lenyap atas izin Sang
Bhuta Poleng.Sedangkan, segehan tulak adalah lambang
persembahan kepada bhuta kalayang dikenal sebagai Sang
Bhuta Mandi. Wujud ritual yang berupa segehan tulak diharapkan
sěgala macam mara bahaya akan berbalik atau pulang ke asalnya.
3.10 Perlengkapan Segehan
Segehan sebagai sebuah
wujud ritual juga dilengkapi dengan beberapa peralatan yang lain seperti, lauk
(bawang merah, jahe, dan jeroan mentah), minuman (arak, berem ‘air
tape’, air, tuak ‘nira’, dan darah), api , dan canang.
Masing-masing perlengkapan segehan itu memiliki makna
sendiri-sendiri. Adapun maknanya adalah sebagai berikut.
a.
Lauk
Bawang merah, jahe, dan jeroan
mentah adalah lauk yang selalu menyertai ritual segehan. Bawang
merah yang memiliki bau dan rasa yang sangat tajam atau amis; jahe yang
memiliki rasa sepat dan pahit; dan jeroan mentah atau isi perut, dalam
kepercayaan masyarakat Hindu di Baliadalah kesukaan bhuta kala. Sěgala
sesuatu yang berbau menyengat dan amis seperti tersebut di atas, menurut
keyakinan umat Hindu disenangi oleh para bhuta kala.
Bawang merah yang berbau amis itu
juga sering digunakan oleh masyarakat sebagai penangkal leyak dengan
cara dioleskan pada ubun-ubun bayi atau balita. Maksudnya adalah agar leyak tersebut
tidak mengganggu si bayi karena sudah cukup puas dengan menjilat bau bawang
merah itu. Untuk menolak mara bahaya secara umum, bawang merah itu bisa
dioleskan diberbagai tempat, misalnya di badan orang dewasa , di atas pintu
kamar, dan di sebelah kiri atau kanan pintu rumah.
Garam dalam
keidupan masyarakat memiliki manfaat yang sangat banyak. Garam memiliki peranan
yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Benda tersebut sangat akrab dengan
kehidupan manusia, sampai-sampai digunakan sebagai pepatah yang berbunyi, bagaikan
sayur tanpa garam, yang bermakna ‘hambar’. Dalam hubungannya dengansegehan, garam
juga mengandung makna penyedap rasa persembahan. Dengan garam itu diharapkan segehan yang
ditujukan kepada bhuta kala itu menjadi lebih enak rasanya,
sehingga mereka terlena dan tidak ingat lagi dengan hal-hal yang lain.
b.
Minuman
Minuman (arak, berem ‘air
tape’, air, tuak ‘nira’, dan darah), yang digunakan sebagai
pelengkap segehan dikenal dengan tetabuhan. Kata tetabuhan itu
sendiri berasal dari kata tabuh yang berarti ’tabur’, ‘siram’. Hal itu
sesuai dengan cara persembahan minuman itu, yaitu dengan cara disiramkan
pada segehan.
Bhuta kala dalam kepercayaan masyarakat Hindu
diandaikan sebagai sosok yang mengerikan, menyeramkan, senang mabuk-mabukan,
dan sebagainya yang memiliki sifat tidak baik. Berdasarkan keyakinan itu,
mereka memandang perlu untuk memanjakannya dengan berbagai minuman keras yang
memabukkan. Arak, berem ‘air tape’, tuak ‘nira’,
dan darah adalah jenis-jenis minuman yang memabukkan. Dengan minuman (tetabuhan) tersebut
di tambah dengan air, diharapkan para bhuta kala sudah merasa
puas dan tidak mengganggu manusia.
Persembahan darah dalam ritual Hindu
dilaksanakan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengadu ayam (tajen),
dengan darah ayam atau babi yang langsung ditaruh pada segehan, dan
dengan menyembelih anak ayam atau itik saat ritual segehan. Persembahan
darah dengan penyembelihan anak ayam atau itik dikenal dengan istilah penyambléh.Dalam praktek
sehari-hari, wujud ritual minuman yang berupa darah sering diganti dengan
telor. Masyarakat yakin bahwa telor memiliki makna yang sama dengan darah.
Pemekaian telor sebagai pengganti darahdapat diljumpai dalam wujud ritual segehan
agung
c.
Api
Api dalam
keyakinan umat Hindu memiliki peranan dan makna yang sangat penting. Dalam
hubungannya dengan kegiatan ritual, api dapat berwujud dupa dan api
takep ‘api yang dibuat dalam dua buah sabut kelapa’.Dupa atau
api yang digunakan dalam ritual itu mengandung makna sebagai lambang Dewa
Brahma sebagai saksi atas ritual yang dilakukan. Brahma adalah Dewa Api
yang memiliki fungsi dan peranan sebagai penerang jiwa orang yang
menggunakannya. Asap yang ditimbulkan oleh dupa atau api
takep yang membumbung ke udara diyakini sebagai penghantar ritual
kepada para para dewa dan bhuta kala.
Api yang
memiliki sifat yang sama dengan matahari juga diyakini sebagai simbol Dewa
Matahari yang dalam masyarakat Hindu dikenal dengan Sang Hyang Surya atau
Sang Hyang Tigawelas atau Sang Hyang Triyodasasaksi. Wujud ritual
dupa diandaikan bahwa dalam ritual tersebut telah hadir Sang
Hyang Triyodasasaksi ‘tiga belas unsur Tuhan sebagai saksi’ yang
menyaksikan ritual sehingga menjadi sah adanya.
d.
Canang
Kata canang berasal
dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘sirih’. Sirih yang di dalamnya
dilengkapi dengan kapur dan pinang yang kemudian dikenal dengan porosan adalah
unsur utama dari canang. Kalau sebuahcanang itu
tidak berisi porosan dianggap belum bernilai keagamaan.Porosan itu
adalah lambang Tuhan sebagai Tri Murti. Pinang yang berwarna
merah adalah lambang Dewa Brahma sebagai pencipta, sirih yang
berwarna hijau adalah lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan
kapur yang berwarna putih adalah lambang Dewa Siwa sebagai pemusnah (Titib,
2001: 144). Pemujaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah bertujuan
untuk memohon kepada-Nya agar tercipta sesuatu yang memang patut tercipta,
terpelihara sesuatu yang memang semestinya terpelihara, dan bergantinya atau
leyapnya sesuatu yang mesti harus berganti atau lenyap (Wiana, 2000: 32; 2001:
9).
III.
PENUTUP
Segehan merupakan ritual masyarakat
Bali yang sering dilaksanakan oleh masyarakat. Pelaksanaan ritual tersebut
dilaksanakan untuk para bhuta kala atau rerencangan Ida Battara dan juga kepada
pengikut roh-roh leluhur dan lain-lain. Secara umum segehan dilaksakan dalam
selang waktu lima hari sekali yaitu pada kliwon. Akan tetapi pada pelaksanaan
upacara besar segehan merupakan rentetan dari ritual mecaru. Sehingga banyak
terdapat jenis segehan.
Misal, segehan
kěpěl putih kuning adalah salah satu jenis segehan yang
terbuat dari nasi yang dikepal dan diberi warna putih dan kuning. Di bagian
atas dilengkapi dengan porosan atau canang, dan di bawahnya
dilengkapi dengan lauk bawang merah, garam, dan jahe. Berikut adalah wujud
ritualnya. Warna putih dan kuning pada segehan itu mengandung
makna kesucian dan kebijaksanaan. Umumnya segehan tersebut
dipersembahkan kepada para pengikut roh-roh leluhur.
Secara tidak langsung segehan
menjadi penyeimbang alam semesta sama seperti halnya caru, bias dikatakan bahwa
segehan merupakan ritual caru yang
paling sederhana.
Daftar Pustaka
Aryasa, Madra. 1992. Seni Sakral, Jakarta: Bimas
Hindu Budha.
_______. 2000. Himpunan Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama I-XV. Bali. Pemerintah
Propinsi Bali.
Kontjaraningrat, 1986. Wujud Kebudayaan.
Watra, W. 2005. Panca Yadnya. Surabaya:
Paramita.
Titra Guna Wijaya
terimkasih atas pngetahuan ttg segehan, bs nmbah ilmu sya, tertuma dlm pembuatan tugas kuliah :)
BalasHapussemoga bermanfaat...
BalasHapusmantram segehan nya gimna pak tirtra
HapusMenghaturkan segehan seharusnya menghadap kemana? Suksma
BalasHapus