Senin, 15 Oktober 2012

SEGEHAN


I.                   PENDAHULUAN
Honigman (1959: 11—12) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas, (2)activities, dan (3) artifact. Sebagai hasil karya manusia, kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Kontjaraningrat, 1986: 186—187).
Berdasarkan uraian tersebut, segehan adalah wujud kebudayaan yang merupakan hasil karya manusia dalam hubungannya dengan masalah keagamaan. Segehan sebagai sebuah wujud ritual dalam keagamaan umat Hindu di Bali baru akan bermakna kalau dideskripsikan dengan bahasa. Segehan adalah sebuah wacana berbahasa Bali dan Kawi-Bali dalam hubungannnya dengan fungsi ritual.
Berbicara masalah fungsi bahasa, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan (2) fungsi bahasa sebagai sarana dalam ritual keagamaan. Malinowski (dalam Sibarani, 2004: 44) menyebut fungsi bahasa itu sebagai (1)pragmatic use dan (2) magical use. Sebagai sebuah wacana, segehan memiliki wujud ritual yang beragam, struktur saa (doa), dan makna yang berbeda pula, yang digunakan dalam hubungannya dengan ritual Butha Yadnya ‘kurban untuk butha kala’.
Segehan sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali berasal dari kata sěga ‘nasi’ , lalu mendapat sufiks –an. Sěga adalah kata dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti ‘nasi’. Segeh berarti ‘penyambutan’, dan segehan berarti ‘menyuguhkan sesuatu (pada tamu terhormat) (Zoetmulder dan S.O. Robson, 2004: 1064—1065). Dalam hal ini segehan dapat diartikan sebagai sebuah suguhan kepada para bhuta kala yang sangat dihormati, karena sesungguhnya bhuta kala itu adalah Tuhan sebagai wujud-Nya yang berbeda dalam hubungannya dengan pemberian anugerah kepada pemuja-Nya.
Segehan adalah sebuah wujud ritual umat Hindu Bali kepada Tuhannya yang berupa nasi dalam berbagai bentuk. Segehan adalah carudalam wujud yang lebih kecil (Arwati, 1992: 3). Segehan adalah sajen yang digunakan dalam upacara bhuta yadnyaalas taledan; isi nasi, lauk-pauk, bawang, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Sejalan dengan itu, dalamKamus Bali-Indonesia (1991: 622) dijelaskan bahwa segehan adalah sajen kurban yang paling kecil dibuat dari nasi dengan lauk-pauk bawang, jahe, dan garam.

II.                PEMBAHASAN
2.1 Pengantar
Segehan, oleh sebagian masyarakat Bali, misalnya di Kabupaten Badung juga dikenal dengan sebutan blabaran. Kata blabaran berasal dari kata blabar ’banjir’, mendapat sufiks–an menjadi blabaran berarti ‘kebanjiran’. Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang. Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena musibah banjir atau kebanjiran, itu adalah pertanda buruk. Sehubungan dengan itu, orang yang bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan atau manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya yang mungkin akan menimpanya. Persembahan untuk menangkal bahaya tersebut di Bali dikenal dengan segehan. Segehan adalah ritual kurban atau caru dalam tingkatan kecil atau sederhana. Tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur.
Segehan sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan keperluan.Segehan adalah kurban atau ritual persembahan yang bukan bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur. Secara umum, fungsi segehan ada empat, yaitu 1) untuk sarana persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar hutang (Bhuta Rnam).
Wujud ritual dalam hal ini adalah rupa atau bentuk ritual segehan.Wujud ritual segehan itu bermacam-macam sesuai dengan tujuan pembuatan dan permohonannya. Bagaimanapun wujudnya, bahan utamanya tidaklah berbeda, yaitu nasi atau sěga. Yang berbeda-beda antara di suatu daerah dan daerah lainnya adalah alas yang digunakan. Di beberapa daerah menggunakan daun pisang sebagai alas, dan di daerah yang lainnya menggunakan janur. Selain itu, ada juga masyarakat yang menggunakan daun pohon dadap atau daun pohon yang lain sebagai alasnya.
Seperti telah dijelaskan di depan, segehan adalah wujud ritual kurban yang ditujukan kepada para bhuta kala beserta pengikut-Nya. Sebagai sebuah ritual kurban, segehan adalah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk sedemikian rupa yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, darah, dan sebagainya. Sebagai minumannya adalah lima jenis cairan, yaitu 1) arak, 2)tuak, 3) b ěr ěm, 4) darah, dan 5) air.
Hal itu sejalan dengan pendapat Dhavamony (2002: 214) yang mengatakan bahwa, upacara kurban adalah persembahan ritual berupa makanan atau minuman atau binatang, sebagai konsumsi bagi suatu mahluk supernatural.
Berbicara masalah wujud ritual atau bentuk, dalam hal ini tidak bisa lepas dari fungsi dan makna. Artinya, di dalam wujud ritual atau bentuk-bentuk segehan itu terkemas fungsi dan makna. Dalam tulisan ini fungsi tidak dibahas secara khusus, karena sudah sangat jelas. Makna dalam bab ini adalah makna kontekstual, yaitu makna yang ada di balik wacana ritual segehan masing-masing. Untuk lebih jelasnya, tentang wujud ritual dan makna wacana segehan yang dimaksud akan diuraikan satu persatu berikut ini.
2.2 Segehan Saiban
Saiban adalah sajen kecil setiap habis memasak (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1991: 596). Segehan Saiban adalah segehan yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari. Wujud segehantersebut berupa nasi dengan alas daun pisang atau daun pohon yang lainnya yang berukuran kurang lebih 5 cm. Persembahan tersebut dibuat lengkap dengan lauknya. Lauknya sesuai dengan apa yang dimasak. Artinya, tidak ada suatu keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. Apa yang dimasak oleh masyarakat Hindu Bali, itulah yang menjadi lauknya.
Segehan saiban bagi sebagian masyarakat juga disebut sebagai banten jotan. Menurut Lontar Dharmasastra seorang kepala keluarga mempunyai lima macam penyembelihan, yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung/lumpang dengan alunya, dan tempayan/tempat air. Segehan saibanhendaknya dipersembahkan hanya kepada alat-alat tersebut (Swarsi, 2003: 84).
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, alat-alat seperti tersebut di atas memiliki jasa yang amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apapun yang dimakan oleh mereka harus dipersembahkan kepada alat-alat tersebut.
Segehan saiban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali tidak hanya dipersembahkan kepada peralatan tersebut di atas, tetapi juga kepada dewa-dewa atau manifestasi Tuhan dan bhuta kala di setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan seperti tempat beras, pelangkiran, halaman rumah, sanggah/ merajan, lebuh atau jalan.
Segehan saiban mengandung makna sebagai ungkapan terima kasih atau rasa syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan, bhuta kala dan sebagai ungkapan terima kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam kehidupan di dunia ini.
Menurut Sudarsana (2001: 86—87), segehan saiban mengandung makna sebagai sarana pengeruat/penyupatan terhadap mahluk-mahluk selain manusia karena tergolong mahluk papa. Hanya manusialah diharapkan melakukan penyupatan agar nanti kalau reinkarnasi dapat menjadi manusia. Di samping itu, memiliki nilai tinggi terhadap karma manusia karena disadari bahwa sěgala sesuatu yang dimakan adalah berkat ciptaan-Nya. Oleh karena itu, sěgala sesuatu yang akan dimakan hendaknya terlebih dahulu dipersembahkan kepada-Nya.
Pernyataan tersebut terangkum dalam kitab suci Bhagawad Githa Bab III sloka 13 sebagai berikut.
Yajña-sistasinah santo
mucyanté sarva-kilbisaih,
bhuñjaté té tv agham papa
yé pacanty atma-karanat.
Terjemahan:
‘Ia yang memakan siasa yadnya akan terlepas dari dosa, (tetapi) ia yang memasak makanan bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.’
Adapun yang dimaksud dengan sisa yadnya adalah semua makanan yang diperoleh setelah terlebih dahulu sebagain disajikan kepada yang patut diberi sajian atau Pribadi Yang paling Utama. Orang yang menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan. Orang yang menanak nasi untuk diri sendiri tanpa ngejot, itulah yang disebut bersalah. Orang yang menyiapkan makanan untuk kepuasan diri tidak hanya menjadi pencuri, tetapi juga memakan sěgala jenis dosa (Pudja, 2005: 86—87), (Sri Srimad, 2000: 178).
2.3 Segehan Putih Kuning
Segehan kěpěl putih kuning adalah sajen segehan kěpěl yang berwarna putih dan kuning, beralaskan taledan, dengan lauk bawang merah, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Jadi, yang dimaksud dengan segehan kěpěl putih kuning adalah salah satu jenis segehan yang terbuat dari nasi yang dikepal dan diberi warna putih dan kuning. Di bagian atas dilengkapi dengan porosan atau canang, dan di bawahnya dilengkapi dengan lauk bawang merah, garam, dan jahe. Berikut adalah wujud ritualnya.
Warna putih dan kuning pada segehan itu mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan. Umumnya segehan tersebut dipersembahkankepada para pengikut roh-roh leluhur.
Selain untuk persembahan kepada roh leluhur, segehan putih kuning juga dipersembahkan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang belum diketahui secara pasti. Masyarakat Hindu di Bali menganggap bahwasegehan tersebut bersifat netral atau dapat dipersembahkan kapan saja dan dimana saja kepada roh-roh ataupun manifestasi Tuhan yang dianggap suci.
Menurut Sudarsana (2001: 81), segehan putih kuning mengandung makna sebagai simbol kekuatan Bhuta Nareswari yang dapat mempengaruhi jiwa manusia untuk berperilaku malas dan boros. Untuk menetralkan pengaruh itu pada diri seseorang, perlu dibuatkan segehan putih kuning.
3.4 Segehan Sah-Sah
Kata sah-sah adalah bentuk ulang dalam bahasa Bali yang berasal dari kata asah yang berarti ‘rata’. Kata sah-sah itu sendiri berarti ‘dibuat rata’. Segehan sah-sah adalah sebuah wujud ritual segehan yang nasinya ditaruh begitu saja atau terurai; tanpa warna; beralaskan daun telujungan‘pucuk daun pisang’; dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, uyah‘garam’, bawang ‘bawang merah’, dan jahé ’jahe’. Adapun wujud ritualnya adalah sebagai berikut.
Segehan sah-sah adalah sebuah wujud ritual yang biasanya dipersembahkan kepada para mahluk-mahluk halus seperti wong samar, deté, tonya, dan sebagainya. Secara implisit dalam Ajaran Kandapatsaridijelaskan bahwa segehan sah-sah digunakan sebagai persembahan kepada mahluk halus yang berada di bawah kekuasaan Ratu Gedé Mecaling. Pada saat-saat tertentu, segehan sah-sah juga digunakan sebagai lambang persembahan kepada bhuta kala yang berfungsi sebagai penjaga perbatasan yang disebut sebagai Sang Bhuta Pemali Wates.
3.5 Segehan Cah-cahan
Segehan cah-cahan adalah sajen segehan yang beralaskan taledan yang berisi beras, benang putih, uang, base tampél, dan bijaratus (Kamiartha, 1992: 58).Segehan cah-cah atau cah-cahan dalam tulisan ini adalah sebuah wujud ritualsegehan dengan nasi berwarna putih, yang dibentuk kecil-kecil seperti di-cah-cah ‘direcah’ dan ditaruh di atas tamas ‘alas daun kelapa yang dibentuk menyerupai piring’. Kata cah-cahan adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘recahan’. Wujud ritual segehan tersebut bersama-sama dengan wujud ritual lainnya, umumnya dipersembahkan untuk ritual bhuta yadnya‘persembahan kepada bhuta kala’ yang sederhana seperti pada saat keliwon, purnama, dan tilem (Pemprov. Bali, 2005: 115). Berikut adalah wujud ritualnya.
Segehan cah-cahan yang utuh seharusnya terdiri atas atau berjumlah 133 buah. Namun, ada kalanya dibuat 108, 66, 33, atau 11 buah. Angka-angka tersebut mengandung makna sebagai berikut. Angka 133 menggambarkan bahwa segehan itu ditujukan kepada bhuta kala yang seluruhnya berjumlah 133. Dalam ajaran kandapatsari dijelaskan bahwa ada 133 bhuta kala yang dikenal dalam ajaran Hindu. Dikenal dalam hal ini mengandung makna ‘diketahui nama, tugas, dan fungsinya’.
Menurut lontar Sundari Siksa, ada 1800 bhuta kala di alam ini. Berikut adalah kutipannya.
“pawilangan kala haneng bhuwana kwehnya siyu domas, yan maring umah séket pat-pat, lwirnya maring purwa pañca tang kala, ring gnéyan kutus tang kala, ring daksina siya, ring nériti tatiga, pascima pitu, ring wayabya siki, ring uttara pat-pat, ring érsanya nem-nem, ring madya kutus, ring lawanging pemesuan siki, ring kiwa tengening pemesuan sama satunggal, pasamodhayanya séket pat-pat…”
Terjemahan:
‘Menurut perhitungan bhuta kala di dunia ini berjumlah 1800, kalau di lingkungan rumah 54, yaitu di Timur berjumlah lima, di Tenggaradelapan, di Selatan sembilan, di Barat tujuh, di Barat Daya tiga, di Barat Laut satu, di Utara empat, di Timur Laut enam, di Tengah delapan, di pintu masuk pekarangan satu, di kiri kanan pintu masuk pekarangan rumah sama juga berjumlah satu, seluhnya adalah lima puluh empat…’
Dalam hubungannya dengan segehan cah-cahan adalah bhuta kala itu berjumlah 133. Mengapa jumlah 133 itu justru menjadi 108, 66, 33, dan 11? Hal itu disebabkan sudah ada wujud segehan yang lain sebagai penggantinya, misalnya segehan agung, pulangan, wong-wongan, sah-sah, dan sebagainya. Makin kecil jumlah segehan cah-cahan itu disebabkan oleh makin banyak ada segehan yang lain yang dianggap telah melengkapi jumlah tersebut.
3.6 Segehan Agung
Segehan agung adalah segehan yang beralaskan nyiru yang berisi nasi, bawang merah, jahe, garam, dan uang (Kamiartha, 1992: 58). Biasanya,segehan agung dilengkapi dengan kelapa dan telur itik mentah. Segehantersebut dibuat di atas alas nyiru yang berisi beras. Di tengahnya diberi tempat sebagai alas kelapa yang di sampingnya susun sebuah kemiri, telor, pangi ‘keluek’, gagantusan, peselan. Di luarnya diisi nasi 11 porsi yang disusun berdasarkan mata angin (Sudarsana, 2001: 83). Segehan tersebut juga dilengpaki canang gantal, dan canang rebong. Sesusai dipersembahkan, beras serta perlengkapannya ditaburkan ke empat penjuru, yaitu Timur, Selatan, Barat, dan Utara (Swarsi, 2003: 79). Lebih jelasnya, perhatikan wujud ritual berikut.
Makna yang terkandung dalam wujud ritual segehan agung adalah sebagai berikut. Kata agung dalam hal ini bukan berarti ‘besar’, tetapi ‘menyeluruh’. Maksudnya, segehan agung bukanlah berarti segehan besarseperti pemahaman masyarakat Hindu pada umumnya, melainkan segehanyang ditujukan kepada seluruh bhuta kala dan pengikut-Nya. Hal itu tercermin dari nasi 11 porsi yang ditaruh berdasarkan mata angin dan beras serta perlengkapan yang ditaburkan ke empat penjuru mata angin.Nasi yang ditaruh disetiap arah mata angin itu mengandung makna bahwasegehan itu ditujukan kepada suluruh bhuta kala yang ada di sěgala penjuru mata angin. Penaburan beras dan perlengkapan yang lain mengandung makna sebagai pemberian kepada seluruh bhuta kala yang menempati keempat penjuru yang mungkin tidak dapat hadir saat ritual dilaksanakan.
3.7 Segehan Wong-Wongan
Segehan wong-wongan adalah sebuah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk menyerupai orang atau manusia. Kata ulang wong-wongan‘orang-orangan’ berasal dari kata wong ‘orang/manusia’. Segehan tersebut dilengkapi dengan lauk jějěron matah ‘jeroan mentah’, bawang merah, jahe, dan garam. Adapun warna nasi yang digunakan adalah bermacam-macam, ada yang berwarna putih, merah, dan brumbun, sesuai dengan keperluanmasyarakat. Berikut adalah wujud ritualnya.
Secara kontekstual, makna segehan wong-wongan adalah lambang persembahan sebagai pengganti diri dan nyawa orang yang mempersembahkannya. Wujud segehan berupa manusia adalah wujud ritual yang dipersembahkan kepada bhuta kala dengan harapan memperoleh keselamatan. Jeroan mentah memiliki makna sebagai jeroan/ isi perut manusia sebagai pelaku persembahan. Sedangkan, bawang merah, garam, jahe adalah pelengkap persembahan yang membuat suguhan kepada bhuta kala tersebut menjadi lebih enak.
3.8 Segehan Tumpěngl
Segehan tumpěngl atau segehan nasi tumpěngl adalah sebuah wujud ritualsegehan yang berbentuk tumpěngl ‘krucut’. Segehan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang dan dilengkapi dengan lauk jeroan mentah, bawang merah, jahe, dan garam. Di ujung bagian atas daun diberi bunga atau canang lengkap dengan porosan-nya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sehari-hari segehan model itu sangat jarang ditemukan karena termasuk wujud ritual khusus yang hanya dipersembahkan saat-saat tertentu. Untuk lebih jelasnya tentang wujud ritual segehan yang dimaksud, perhatikan gambar berikut.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan informan ahli, segehan tumpěngl itu dibuat dengan sarana utama nasi yang berbentuktumpěngl dengan warna yang berbeda-beda, sesuai keperluan. Ada yang berwarna putih, kuning, merah, hitam, dan mancawarna. Perbedaan warna nasi tersebut disesuaikan dengan tujuan kepada siapa segehan itu dipersembahkan. Misalnya, untuk Sang Bhuta Mancawarna sebagai jelmaan Dewa Siwa di gunakan warna brumbun (campuran warna merah, putih, hitam).
Makna yang terkandung di balik segehan tumpěngl adalah sebagai lambang persembahan kepada puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan dalam agama Hindu. Yang dikenal sebagai puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan itu adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Ghana, Kala, Kumara, Saraswati, dan sebagainya. Maksudnya, Brahma adalah puncak kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa sebagai pelebur, Ghana sebagai penolak mara bahaya, Kala sebagai penguasa waktu, Kumara sebagai penguasa sěgala kesenangan, dan Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan.
3.9 Segehan Tulak
Segehan tulak adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buahsegehan, yaitu segehan sliwah, sěgahan kěpěl poleng, dan segehan tulak. Kata tulakadalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘tolak’, ‘balik’. Segehan tulakadalah sebuah wujud ritual yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali, yang bertujuan untuk menolak mara bahaya yang bisa datang kapan saja.Segehan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, gara, dan jeroan mentah.
Segehan sliwah adalah segehan wong-wongan yang separo badan berwarna putih, separo lagi berwarna merah atau hitam yang di Bali disebut berwarna sliwah. Segehan kěpěl poleng adalah segehan yang dibuat dengan cara dikepal dan diberi warna hitam dan putih (poleng). Dansegehan tulak adalah wujud segehan yang berupa dua buah nasi wong-wongan‘menyerupai manusia’ terbalik atau beradu kepala. Ketiga segehan tersebut masing-masing dipersembahkan kepada Sang Bhuta Sliwah, Sang Bhuta Poleng, dan Sang Bhuta Mandi. Adapun bentuk atau wujud ritual segehanyang dimaksud adalah sebagai berikut.
Adapun makna yang terkandung di balik segehan-segehan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Segehan sliwah mengandung makna sebagai persembahan kepada Sang Bhuta Sliwah. Warna sliwah itu mengandung makna agar sěgala mara bahaya yang ada atau yang akan datang menjadi netral. Segehan poleng adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Poleng sebagai bhuta kala penguasa berbagai macam kesaktian. Dengan persembahan segehan poleng diharapkan sěgala kekuatan yang menyertai mara bahaya itu akan lenyap atas izin Sang Bhuta Poleng.Sedangkan, segehan tulak adalah lambang persembahan kepada bhuta kalayang dikenal sebagai Sang Bhuta Mandi. Wujud ritual yang berupa segehan tulak diharapkan sěgala macam mara bahaya akan berbalik atau pulang ke asalnya.
3.10 Perlengkapan Segehan
Segehan sebagai sebuah wujud ritual juga dilengkapi dengan beberapa peralatan yang lain seperti, lauk (bawang merah, jahe, dan jeroan mentah), minuman (arak, berem ‘air tape’, air, tuak ‘nira’, dan darah), api , dan canang. Masing-masing perlengkapan segehan itu memiliki makna sendiri-sendiri. Adapun maknanya adalah sebagai berikut.
a.      Lauk
Bawang merah, jahe, dan jeroan mentah adalah lauk yang selalu menyertai ritual segehan. Bawang merah yang memiliki bau dan rasa yang sangat tajam atau amis; jahe yang memiliki rasa sepat dan pahit; dan jeroan mentah atau isi perut, dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Baliadalah kesukaan bhuta kala. Sěgala sesuatu yang berbau menyengat dan amis seperti tersebut di atas, menurut keyakinan umat Hindu disenangi oleh para bhuta kala.
Bawang merah yang berbau amis itu juga sering digunakan oleh masyarakat sebagai penangkal leyak dengan cara dioleskan pada ubun-ubun bayi atau balita. Maksudnya adalah agar leyak tersebut tidak mengganggu si bayi karena sudah cukup puas dengan menjilat bau bawang merah itu. Untuk menolak mara bahaya secara umum, bawang merah itu bisa dioleskan diberbagai tempat, misalnya di badan orang dewasa , di atas pintu kamar, dan di sebelah kiri atau kanan pintu rumah.
Garam dalam keidupan masyarakat memiliki manfaat yang sangat banyak. Garam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Benda tersebut sangat akrab dengan kehidupan manusia, sampai-sampai digunakan sebagai pepatah yang berbunyi, bagaikan sayur tanpa garam, yang bermakna ‘hambar’. Dalam hubungannya dengansegehan, garam juga mengandung makna penyedap rasa persembahan. Dengan garam itu diharapkan segehan yang ditujukan kepada bhuta kala itu menjadi lebih enak rasanya, sehingga mereka terlena dan tidak ingat lagi dengan hal-hal yang lain.
b.      Minuman
Minuman (arak, berem ‘air tape’, air, tuak ‘nira’, dan darah), yang digunakan sebagai pelengkap segehan dikenal dengan tetabuhan. Kata tetabuhan itu sendiri berasal dari kata tabuh yang berarti ’tabur’, ‘siram’. Hal itu sesuai dengan cara persembahan minuman itu, yaitu dengan cara disiramkan pada segehan.
Bhuta kala dalam kepercayaan masyarakat Hindu diandaikan sebagai sosok yang mengerikan, menyeramkan, senang mabuk-mabukan, dan sebagainya yang memiliki sifat tidak baik. Berdasarkan keyakinan itu, mereka memandang perlu untuk memanjakannya dengan berbagai minuman keras yang memabukkan. Arak, berem ‘air tape’, tuak ‘nira’, dan darah adalah jenis-jenis minuman yang memabukkan. Dengan minuman (tetabuhan) tersebut di tambah dengan air, diharapkan para bhuta kala sudah merasa puas dan tidak mengganggu manusia.
Persembahan darah dalam ritual Hindu dilaksanakan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengadu ayam (tajen), dengan darah ayam atau babi yang langsung ditaruh pada segehan, dan dengan menyembelih anak ayam atau itik saat ritual segehan. Persembahan darah dengan penyembelihan anak ayam atau itik dikenal dengan istilah penyambléh.Dalam praktek sehari-hari, wujud ritual minuman yang berupa darah sering diganti dengan telor. Masyarakat yakin bahwa telor memiliki makna yang sama dengan darah. Pemekaian telor sebagai pengganti darahdapat diljumpai dalam wujud ritual segehan agung
c.       Api
Api dalam keyakinan umat Hindu memiliki peranan dan makna yang sangat penting. Dalam hubungannya dengan kegiatan ritual, api dapat berwujud dupa dan api takep ‘api yang dibuat dalam dua buah sabut kelapa’.Dupa atau api yang digunakan dalam ritual itu mengandung makna sebagai lambang Dewa Brahma sebagai saksi atas ritual yang dilakukan. Brahma adalah Dewa Api yang memiliki fungsi dan peranan sebagai penerang jiwa orang yang menggunakannya. Asap yang ditimbulkan oleh dupa atau api takep yang membumbung ke udara diyakini sebagai penghantar ritual kepada para para dewa dan bhuta kala.
Api yang memiliki sifat yang sama dengan matahari juga diyakini sebagai simbol Dewa Matahari yang dalam masyarakat Hindu dikenal dengan Sang Hyang Surya atau Sang Hyang Tigawelas atau Sang Hyang Triyodasasaksi. Wujud ritual dupa diandaikan bahwa dalam ritual tersebut telah hadir Sang Hyang Triyodasasaksi ‘tiga belas unsur Tuhan sebagai saksi’ yang menyaksikan ritual sehingga menjadi sah adanya.
d.      Canang
Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘sirih’. Sirih yang di dalamnya dilengkapi dengan kapur dan pinang yang kemudian dikenal dengan porosan adalah unsur utama dari canang. Kalau sebuahcanang itu tidak berisi porosan dianggap belum bernilai keagamaan.Porosan itu adalah lambang Tuhan sebagai Tri Murti. Pinang yang berwarna merah adalah lambang Dewa Brahma sebagai pencipta, sirih yang berwarna hijau adalah lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan kapur yang berwarna putih adalah lambang Dewa Siwa sebagai pemusnah (Titib, 2001: 144). Pemujaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah bertujuan untuk memohon kepada-Nya agar tercipta sesuatu yang memang patut tercipta, terpelihara sesuatu yang memang semestinya terpelihara, dan bergantinya atau leyapnya sesuatu yang mesti harus berganti atau lenyap (Wiana, 2000: 32; 2001: 9).
III.             PENUTUP
Segehan merupakan ritual masyarakat Bali yang sering dilaksanakan oleh masyarakat. Pelaksanaan ritual tersebut dilaksanakan untuk para bhuta kala atau rerencangan Ida Battara dan juga kepada pengikut roh-roh leluhur dan lain-lain. Secara umum segehan dilaksakan dalam selang waktu lima hari sekali yaitu pada kliwon. Akan tetapi pada pelaksanaan upacara besar segehan merupakan rentetan dari ritual mecaru. Sehingga banyak terdapat jenis segehan.
Misal, segehan kěpěl putih kuning adalah salah satu jenis segehan yang terbuat dari nasi yang dikepal dan diberi warna putih dan kuning. Di bagian atas dilengkapi dengan porosan atau canang, dan di bawahnya dilengkapi dengan lauk bawang merah, garam, dan jahe. Berikut adalah wujud ritualnya. Warna putih dan kuning pada segehan itu mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan. Umumnya segehan tersebut dipersembahkan kepada para pengikut roh-roh leluhur.
Secara tidak langsung segehan menjadi penyeimbang alam semesta sama seperti halnya caru, bias dikatakan bahwa segehan merupakan ritual caru  yang paling sederhana.

Daftar Pustaka
Aryasa, Madra. 1992. Seni Sakral, Jakarta: Bimas Hindu Budha.
_______. 2000. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama I-XV. Bali. Pemerintah Propinsi Bali.
Kontjaraningrat, 1986. Wujud Kebudayaan.
Watra, W. 2005. Panca Yadnya. Surabaya: Paramita.

 Titra Guna Wijaya

4 komentar:

  1. terimkasih atas pngetahuan ttg segehan, bs nmbah ilmu sya, tertuma dlm pembuatan tugas kuliah :)

    BalasHapus
  2. Menghaturkan segehan seharusnya menghadap kemana? Suksma

    BalasHapus